Kamis, 28 Mei 2009

cerpen:Kisah Mbok Simah

Jalan mulai sepi. Sudah jarang orang yang berlalu lalang. Lampu penerang jalan tidak nyala. Sedangkan malam menginginkan cahaya, menggantikan rembulan yang enggan menampakkan wajahnya. Semestinya mereka beradu, seperti malam-malam sebelumnya. Tapi awan menyembunyikan rembulan. Malam hanya bisa diam.
Beberapa toko masih ditemani sinar lampu neon. Memancarkan barang dagangannya yang melambai-lambai menciptakan nuansa ramai. Percuma, tidak ada yang mendengar. Toko tetap sepi. Tapi para karyawan masih setia menanti pembeli yang kedatangannya belum pasti. Mereka berdiri dengan kehampaan. Bosan. Mereka pun duduk. Lalu berdiri lagi. Mondar-mandir. Hingga akhirnya ¾ tepat pukul sepuluh malam ¾ mereka memutuskan untuk tutup toko.
Lampu-lampu toko telah padam. Melengkapi kesepian malam. Kota ini seperti mati. Ah, malam resah. Malam tidak ingin mati kecuali matahari saja yang boleh membunuhnya. Malam pun mencari teman. Perempatan kemuning dekat alun-alun kota. Di emperan toko ¾ pojok sebelah barat jalan ¾ malam menemukan tempat beradu. Ada cahaya kehidupan. Bukan kehidupan malam yang dipenuhi gairah haram, melainkan malam yang akan memberikan pelajaran tentang makna kehidupan.
Seorang perempuan tua duduk bersimpuh. Rambutnya yang memutih terikat rapi. Kebaya yang dikenakannya terlihat sedikit lusuh. Tapi jaritnya ¾ warna coklat tua bermotif batik ¾ cukup bersih. Di depannya ada nyala redup lampu minyak tanah, tungku kecil, kipas bambu berbentuk persegi dan beberapa jagung muda yang sudah dikupas. Perempuan tua itu bernama mbok Simah. Baru kemarin, mbok Simah menjalani pekerjaannya, menjual jagung bakar. Bagi mbok Simah, pekerjaan ini adalah pilihan terbaik daripada berdiam diri sebagai orang yang terbuang di panti jompo. Bahkan mbok Simah harus melakukan perang gerilya melawan penjaga gerbang agar bisa keluar dari tempat pembuangan. Bagi mbok Simah, panti jompo adalah tempat penyiksaan batin. Karena Aji, anak kandung mbok Simah sendiri yang mengirimnya ke sana.
“Mbok lebih baik tinggal di panti jompo. Di sana lebih terurus. Saya kan sudah berumah tangga Mbok, mana sempat kalau terlalu sering bolak-balik dari kota ke sini hanya untuk menemui Mbok,” keluh Aji.
Mbok Simah menatap anak sulungnya dengan kecewa. Tapi mbok Simah menyunggingkan senyum. “Mbok kangen sama kamu Le. Mbok juga ingin bertanya tentang kabar. Kabar kamu, kabar istrimu dan kabar keberadaan adikmu, Sutri.”
Aji mendongakkan kepalanya. Keadaannya sekarang jauh lebih baik. Aji tidak lagi seperti dulu. Istrinya, Sinta ¾ anak konglomerat dari keturunan orang ningrat, menyelamatkan dirinya dari badai melarat. Entah apa yang membuat Sinta terbius, padahal Aji hanya mengenal bangku SMP. Mungkin karena Aji berparas tampan. Sampai-sampai Sinta nekat mengiris pergelangan tangannya untuk mengancam kedua orang tuanya agar memberikan restu yang telah berlanjut di pelaminan. Sedang Aji sendiri tidak pernah membiarkan Sinta mengetahui keadaan mboknya. Aji takut Sinta akan meninggalkannya, takut kekayaan Sinta akan membawanya kembali ke bawah. Juga tentang kelahiran Pratama Diningrat setahun yang lalu. Alangkah bahagia hati mbok Simah jika mengetahui ada jabang bayi laki-laki yang memanggilnya nenek. Sebuah kisah klasik malin kundang telah berjaya dengan berbagai versi.
“Kabar saya dan Sinta baik-baik saja Mbok,” kata Aji.
“Lalu keberadaan Sutri? Mbok takut kalau terjadi apa-apa dengan adikmu.”
Aji tidak menjawab. Dia tidak mempunyai jawaban rekayasa lagi yang sering diucapkannya. Sudah seminggu Sutri minggat. Sejak itulah mbok Simah terus-terusan menghubungi Aji untuk mencari Sutri ke kota. Bagaimana bisa menemukan Sutri, Aji tidak pernah mencari adiknya.
“Kenapa kamu diam Le?”
“Sudahlah,” bentak Aji. “Mbok ini merepotkan saja. Sekarang Mbok boleh berkemas. Bukankah Mbok ingin pergi ke kota? Besok pagi saya akan menjemput Mbok dan mengantar Mbok ke panti jompo.”
Mbok Simah menghela nafas. Dielus-eluskan tangannya ke dada. Ingatan itu terasa menyesakkan. Mbok Simah tidak mungkin bisa melupakan kedua anaknya begitu saja, meskipun Aji dan Sutri telah meninggalkannya. Perasaan mbok Simah sakit. Hatinya menjerit. Anak adalah harta bagi setiap orang tua. Pikiran mbok simah merembet pada suaminya yang sudah meninggal semenjak kelahiran Sutri. Kini, gadis bungsu itu berusia dua puluh tahun. Naluri seorang ibu, membawa mbok Simah lebih memilih jualan di emperan toko dekat alun-alun kota ini ketika menjelang malam. Mbok Simah masih menangkap jelas ucapan Sutri sebelum dia minggat.
Malam tetap beradu. Diam. Malam menyibak kisah mbok Simah.
Suara deru sepeda motor berhenti di samping mbok Simah. Sosok laki-laki muda berjaket hitam itu melepas helmetnya. Dia turun dari motornya dan berjalan mendekati mbok Simah.
“Mbok jagung bakar satu ya?” ucap pemuda itu. Kedua tangannya saling digosokkan. Mbok Simah memilah-milah jagung yang kiranya paling muda dan diletakkan di atas tungku kecil. Tangan mbok Simah mengayun-ayunkan kipas bambu. Hembusan udara membangunkan api untuk segera melahap jagung dengan kobarannya.
“Pulang kerja Nak?” tanya mbok Simah.
“Iya Mbok.”
Mbok Simah menatap wajah pemuda itu. “Tidak perlu mengernyitkan kening untuk menghadapi sebuah masalah. Nanti cepat tua seperti Mbok.”
Pemuda itu tersenyum. “Tiga hari lagi saya akan menikah Mbok.”
“Mbok senang mendengarnya. Tapi kenapa kamu malah resah?”
“Betapa bahagianya jika ibu saya bisa melihat anaknya bersanding di pelaminan,” pemuda itu menarik nafas. “Ibu saya sudah meninggal.”
Mbok Simah trenyuh. Hatinya meluluh. Terharu. Dipandanginya lagi raut wajah pemuda itu. Terbesit dalam ingatan mbok Simah tentang Aji dan istrinya, Sinta. Mbok Simah belum tahu wajah menantunya sendiri. Aji tidak pernah mengenalkan Sinta pada mboknya. Mbok Simah bertanya-tanya, apa dirinya terlalu hina karena terlahir sebagai orang melarat?
“Mbok tidak perlu datang ke pernikahan saya. Acaranya hanya dihadiri orang-orang konglomerat. Saya tidak ingin mereka tahu kalau saya berasal dari keluarga melarat. Apa Mbok ingin saya dihina banyak orang?” teriak Aji pada mboknya.
Saat itu mbok Simah baru saja membeli pakaian ¾ setelan kebaya dan jarit baru khusus dibelinya untuk menghadiri acara pernikahan anaknya ¾ dari pasar Melarat. Kekecewaan menampar mbok Simah.
Air mata mbok Simah menetes perlahan. Pemuda tadi salah tingkah. Takut kalau ada ucapan yang menyinggung perasaan si Mbok.
“Maaf Mbok, kenapa Mbok menangis?”
Mbok Simah menggeleng. Buru-buru dihapus air mata yang sudah membasahi kedua pipinya. “Ndak apa-apa. Mbok hanya teringat dengan anak-anak Mbok.”
“Kenapa dengan anak-anak Mbok?”
“Mbok punya tiga anak,” mbok Simah mulai bercerita. “Yang pertama laki-laki, dia sudah menikah dengan gadis kota. Yang kedua juga laki-laki, tapi meninggal saat dilahirkan. Yang terakhir perempuan, mungkin seumuran dengan kamu, Nak. Mbok sangat merindukan mereka semua.”
“Apa Mbok sudah lama tidak bertemu dengan mereka?”
Mbok Simah sengaja tidak menjawab. Tangannya masih mengayun menebarkan aroma kehangatan malam. Kali ini pikirannya mengarah pada sosok gadis ¾ anak bungsunya ¾ yang keberadaannya entah di mana. Setelah kabur dari panti jompo, sepanjang hari mbok Simah mencari Sutri ke setiap toko dekat alun-alun kota. Malam harinya mbok Simah sengaja jualan di emperan toko berharap salah satu karyawan yang bekerja di toko-toko itu adalah Sutri.
“Sutri ingin pergi ke Malaysia Mbok. Seperti Sari, Nipah dan Sri. Mereka sukses Mbok,” rengek Sutri.
“Kamu kira pergi ke Malaysia itu tidak butuh uang? Bisa makan saja sudah alhamdullilah, Nduk.”
“Justru itu Mbok,” Sutri berjalan mendekati mboknya yang sibuk di dapur. “Sutri akan ikut paklik Kardi ke kota. Kata orang-orang, di dekat alun-alun kota banyak di bangun rumah toko dan membutuhkan banyak karyawan. Suti akan bekerja di sana.”
“Ndak usah neko-neko, Nduk. Kamu itu perempuan, ndak baik pergi jauh-jauh meninggalkan rumah. Di sini kamu kan sudah dapat kerja. Menjahit baju di rumah mbak Karyati, apa itu bukan pekerjaan?”
“Kapan kehidupan ini akan berubah kalau kita hanya menjalani nasib saja.”
Tanpa sepengetahuan mbok Simah, menjelang subuh, paklik Kardi menjemput Sutri. Sutri sudah siap. Pakaiannya rapi dan tangannya menjinjing tas besar. Sutri minggat.
“Mbok,” gugah pemuda itu.
Sekejab, mbok Simah sudah kembali dari lamunan panjang. Jagung itu dibolak-balik sebentar. Begitu jagungnya matang, mbok Simah langsung menyodorkannya pada pemuda itu.
“Siapa namamu Nak?”
“Arif,” jawabnya seraya melahap jagung yang ditunggunya dari tadi. Sesekali meniup-niup jagung sekedar mengurangi panasnya.
“Kalau Mbok namanya siapa?”
“Panggil saja Mbok Simah.”
Pemuda itu mengangguk-angguk. “Mbok tinggal dimana?”
“Dimana-mana bisa.”
Mata pemuda itu mengisyaratkan tanda tanya.
“Jangan mengira kalau Mbok ndak punya rumah. Mbok punya rumah tapi di desa.”
“Desa mana?”
“Desa melarat.”
“Calon istri saya juga dari desa, tapi saya belum tahu desa apa. Besok pagi kami akan ke sana, menjemput calon mertua saya,” senyum pemuda itu malu-malu. “Mbok tidak sekalian bareng saya ke desa?”
“Mbok belum ingin pulang. Mbok doakan, semoga kamu bahagia.”
“Suwun Mbok.”
Tatapan mata pemuda itu jernih. Menyinarkan ketulusan dan rasa hormat. Didepannya ada secercah cahaya masa depan yang akan membawanya ke dalam kebahagiaan. Sedang mbok Simah hanya tersenyum sendiri menyelami keragaman hidup yang dirasa semakin menggerogotinya.
Setelah menghabiskan jagungnya, pemuda itu mengambil pena dan sebuah kertas dalam kemasan apik. Ditulisnya nama mbok Simah pada kotak kecil yang telah tertera.
“Undangan ini untuk Mbok.”
Mbok Simah terlihat linglung. Dia tidak segera mengambil undangannya. “Undangan apa ini, Nak?”
“Ini undangan pernikahan saya. Saya harap Mbok sudi datang bukan sebagai tamu, melainkan sebagai pengganti ibu saya. Saya merasa ada suatu ikatan antara saya dengan Mbok.
Air mata mbok Simah menetes seketika. Bibirnya gemetar, tidak kuat menahan rasa haru. Diambilnya undangan itu. Kedua tangan mbok Simah memegangnya erat.
“Kenapa bukan anak kandungku sendiri yang bisa melegakan hati ini,” jerit mbok Simah dalam hati.
“Datang ya Mbok. Rumah saya tidak jauh dari sini. Di undangan itu ada alamat saya.”
Mbok Simah mengangguk-angguk sambil terisak.
Pemuda itu beranjak. Dia mengambil selembar uang dan diselikan ke tangan mbok Simah.
“Jangan Nak,” tolak mbok Simah. “Jagung itu buat nak Arif, ndak usah bayar.”
Pemuda itu tidak memedulikan teriakan mbok Simah. Dia segera menyalakan motornya dan menghilang dalam gelap jalan. Mbok Simah tidak sempat melakukan apa-apa, termasuk mengembalikan selembar uang lima puluh ribuan.
“Maaf Nak,” ucap mbok Simah lirih. “Mbok ndak bisa datang.”
Mbok Simah membolak-balik undangannya. Tangan kanannya memegang erat, seperti membawa benda pecah belah yang tidak boleh jatuh. Mbok Simah kembali duduk dan memandangi undangan itu. Mbok Simah mencoba mengeja huruf-huruf yang tertata rapi. Sia-sia saja, mbok Simah buta huruf. Seandainya mbok Simah tahu, huruf-huruf itu membentuk serangkaian kata kunci jawaban tentang keberadaan anak bungsunya.
Telah menikah. Dua mempelai, Arif Budi Setiawan dan Sutri Melarat.

1 komentar:

  1. knapa msti 3/4nya??

    knp kug gag 1??
    setengah atoh seperempat??


    akuh kyke pnh tw jlan ceritny di cerpen naga swara pnya yamg ngarang "not just fairytale"

    BalasHapus